penyejuk hati dengan laskar hati
0 Comments
»
Re: OOT: Laskar Pelangi, Laskar Hati
Saya justru malah tidak baca novelnya, Mas Adi. Soal mana lebih bagus sebuah
novel atau film (bila diflmkan), saya kira relatif ya? Ada yang berhasil sebagai
novel, tapi ada juga yang gagal sebagai film. Begitu pula sebaliknya.
Biasanya sih, film-film dokumentasi, balada, atau sejarah yang bersifat kolosal,
akan lebih berhasil bila difilmkan ketimbang novel. Lain hal kalau temanya
tentang pergulatan pemikiran --seperti filsafat, misalnya--, duh betapa
sulitnya ya? Kalaupun bisa, kita tidak diberi waktu untuk merenung (waktu film
singkat dan terus berjalan). Sebagai contoh, tontonlah film Kantata Takwa,
sajak-sajak yang dibacakan Rendra di sana sepertinya kaku atau patah-patah.
Tidak lebih baik ketimbang kita melihat dia membacanya sendiri secara live atau
kita baca dari buku. Saat itu kita lebih punya waktu untuk mengapresiasi.
Yang jelas, film adalah jalan pintas bila kita ingin mengetahui sebuah
peristiwa. Kini tergantung bagaimana sutradaranya dalam memahami atau
mengembangkan maskud dari si mpunya ceita.
Saya sepakat dengan Mas Adi, Riri Reza adalah salah seorang sutradara (muda)
terbaik kita saat ini. Kalaupun ada yang patut disejajarkan dengannya, Rudi
Sudjarwo.
Setelah era Slamet Rahardjo berakhir, tinggal Garin Nugroho sebagai penerus yang
patut disimak. Namun ia sendiri. Gantung. Setelah itu, di antara tebaran
sutradara muda yang muncul, ya Riri inilah yang terbaik (ingat juga
interpretasinya dalam film Gie yang cukup lumayan sesuai dengan umurnya).
Kalau Hanung, atau film Ayat-ayat Cinta, maaf-maaf saja, saya tidak suka.
Terlalu klise dan tidak membumi. Beda dengan Laskar Pelangi yang Indonesia
banggets, hehee.... Apalagi ketika ada dendang lagu Seroya di sana, duh,....
menerawang langsung batin ini. Ibarat kata, kalau saya sedang berada di buritan
kapal saat itu (mendengarnya), ingin rasanya langsung melompat ke laut saking
terharunya:-).
Seperti kata Gde Pramana dalam acara Kick Andy itu, salah satu kelebihan Hirata
dalam menulis buku itu adalah ia menulis dari hati. Nah, apa yang ditulis dari
hati, tentu sampainya pun ke hati kan?
Begitu pula lagu-lagu tradisional masa lalu (Seroya, Yen Ing Tawang Ono Lintang,
Bolelebo, Neng Geulis, O Tano Batak, dsb) --yang mengangkat roh budaya lokal
yang berkembang di tengah masyarakat--, dengan sendirinya masyarakat pun
segera meresponnya dengan baik. Lagu itu menjadi ungkapan atau pantulan dari
masyarakat itu sendiri: yang abadi dan lestari sepanjang masa. Istilahnya anak
muda sekarang: "Gue banggets, gitu looh!".
Tidak tahu juga karena kita semakin lama semakin tua ya? Konon salah satu
cirinya, kalau kita sudah mulai (lebih) suka membicarakan masa lalu (baca:
memori) ketimbang masa sekarang --apalagi masa depan. Heheee....... kurang tahu
juga ya.....(Mbak Ayu dan Mbak Yoosca,.... kalian izinkankah saya bila menjadi
tua....? Ha ha haa....!).